Pengembangan kurikulum pendidikan keperawatan

kurikulum nasional pendidikan ners 1 (KIPNI 1)Kurikulum KBK Pendidikan Ners Asosiasi Institusi Pendidikan Ners Indonesia (AIPNI) mengadakan kegiatan nasional berupa pembinaan internal anggota AIPNI dengan melakukan seminar mengenai implementasi kurikulum KBK program pendidikan ners. Kegiatan ini sendiri rencananya akan dihadiri oleh 305 Perguruan Tinggi keperawatan dari seluruh Indonesia.Hadir pada pembukaan seminar, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Prof. Dr. Ir. Djoko Santoso, M.Sc yang pada kesempatan kali ini didampingi oleh Direktur Akademik Ditjen Dikti, Dr. Ir. Illah Sailah dan Ketua AIPNI yaitu Prof. Dra. Elly Nurahmah, SKp.Mapp,Sc.DNSc.RN.Dalam sambutan pembukaannya, Dirjen Dikti mengemukakan bahwa kesehatan merupakan pilar penting dalam kehidupan. “Kesehatan merupakan salah satu pilar penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”, ujarnya. “Oleh karena itu seminar ini menjadi penting sebagai bahan rujukan dalam menerapkan kurikulum yang baik dalam rangka mengimplementasikan kurikulum berbasis kompetensi bagi para lulusan perguruan tinggi yang mempunyai pendidikan ners didalamnya”, lanjut beliau.Selain itu Dirjen Dikti juga menjelaskan bahwa apabila seminar ini nantinya akan menghasilkan kebijakan untuk kemajuan keperawatan di Indonesia, maka Dirjen Dikti mengharapkan kebijakan tersebut harus berdasarkan Undang-Undang Guru dan Dosen serta Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. dasar dasar pengembangan kurikulum institusiKurikulum di suatu sekolah, meliputi kurikulum tingkat Institusi (biasanya dikenal dengan sebutan Buku I) dan kurikulum tingkat mata pelajaran (dikenal dengan Buku II) yang disebut juga GBPP ( Garis-garis Besar Program Pengajaran) atau Syllabus Mata Pelajaran, yang merupakan pengembangan dari kurikulum tingkat institusi (lembaga) tadi.Pengembangan kurikulum PAI adalah kegiatan menjabarkan Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) Mata Pelajaran PAI ke dalam Program Pengajaran Tahunan, Program Pengajaran Catur Wulan, Program Pengajaran Mingguan dan Program Pengajaran Tatap Muka (berupa Satuan Pelajaran dan Rencana Pengajaran ) untuk nantinya dijadikan pedoman dalam melaksanakan proses pembelajaran peserta didik.B. DASAR-DASAR PENGEMBANGAN KURIKULUMAda beberapa dasar ( azas ) dalam pengembangan kurikulum, yaitu :1. Azas FilosofisFilsafat yang mendasari kehidupan berbangsa dan bernegara atau yang umum di anut oleh suatu bangsa/ negara, seperti sekuler, agamis, aties, dll akan menentukan bentuk tujuan umum pendidikan, yang tentunya akan menjadi arah bagi pelaksanaan pendidikan suatu negara itu, dan dalam pengembangan kurikulum itu harus diperhatikan hal ini, kalau tidak maka pendidikan dan out putnya tidak akan diterima secara umum di negara itu.2. Azas SosiologisKehidupan sosial kemasyarakatan yang berbeda-beda juga harus menjadi azas utama dalam pengembangan kurikulum, agar out put dan lembaga itu bisa hidup dan diterima di lingkungan masyarakat itu. Masyarakat industri, agraris, modern atau tradisional, masyarakat daerah pegunungan atau di daerah lembah, dsb punya kebutuhan dan kehidupan yang berbeda-beda yang harus diakomulasikan ke dalam muatan kurikulum agar proses dan hasil pendidikan dapat bermanfaat dan diterima oleh masyarakat ( sesuai dengan kebutuhan mereka ).Karena memegang azas inilah maka kurikulum hendaknya setiap saat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan hidup masyarakat.3. Azas OrganisatorisAzas organisatoris perlu mendapat perhatian, sebab akan menentukan bagaimana penyusunan dan penyajian muatan kurikulum itu sendiri, baik mengenai urut-urutannya atau pun keluasan cakupannya.4. Azas PsikologisAgar bisa dilaksanakan dengan baik dan dapat berhasil secara maksimal, maka pengembangan kurikulum harus berdasarkan kepada psikologi, seperti memegang prinsip perkembangan anak dan taraf pengembangannya, psikologi belajar seperti teori teori gestalt, asosiasi, dll.Azas psikologi yang dijadikan acuan dasar penyusunan sebuah kurikulum ini, akan mempengaruhi sampai kepada bagaimana seharusnya melaksanakan dan mengevaluasi pelaksanaan sebuah kurikulum.C. PRINSIP DASAR PENGEMBANGAN KURIKULUMAda beberapa prinsip dasar dalam pengembangan kurikulum yang pernah diterapkan ( kurikulum 1975, 1984 dan 1994 ), dan prinsip seperti ini menjadi patokan utama dalam pengembangan sebuah kurikulum, yaitu . :1. Prinsip relevansiPrinsif relevansi maksudnya bahwa kurikulum harus serasi, sesuai dengan tuntutan masyarakat.Relevansi ini, meliputi :a. Relevansi dengan lingkungan peserta didikb. Relevansi dengan kehidupan sekarang dan akan datangc. Relevansi dengan tuntutan dunia kerjad. Relevansi dengan perkembangan IPTEK2. Prinsip efektivitas dan efesiensia. Prinsip efektivitasEfektivitas maksudnya apa yang termuat dalam kurikulum memang berhasil guna untuk mencapai tujuan yang diharapkan.Misalnya efektivitas mengajar guru, dimaksudkan bagaimana pembelajaran yang dilakukan guru berhasil guna mencapai tujuan pendidikan. Begitu juga efektivitas belajar murid dalam mencapai tujuan pembelajaran akan banyak ditentukan oleh berbagai faktor yang semuanya harus diperhatikan, agar belajar mereka efektif mencapai tujuan yang ditetapkan.c. Prinsip EfesiensiPenyusunan dan pengembangan kurikulum harus memegang prinsip efisiensi atau prinsip pemberdaya gunaan, maksudkan muatan program harus betul-betul direncanakan sesuai dengan perencanaan waktu, tenaga dan peralatan serta biaya yang digunakan.3. Prinsif kuntinuitasPrinsip kontinuitas ( kesinambungan ) maksudnya kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kontinuitas program dengan jenjang di bawah dan atau di atasnya. Untuk ini ada 2 hal yang harus diperhatikan :a. Bahan pelajaran yang diperlukan untuk jenjang yang lebih tinggi, danb. Bahan Pelajaran yang diperlukan pada jenjang dasar di bawahnya.4. Prinsip FleksibilitasFleksibilitas maksudnya tidak kaku atau elastis, maksudnya kurikulum dikembangkan sedemikian rupa dengan memperhatikan kemudahan dalam bertindak, seperti bagi peserta didik disediakan adanya program pilihan dan penjurusan serta program specialisasi sesuai dengan minatnya. Kurikulum juga memberi ruang gerak yang leluasa bagi peserta didik yang punya kelebihan ( IQ ) untuk menyelesaikan program pendidikan lebih cepat.Begitu juga fleksibilitas dalam pengembangan program bagi guru5. Prinsip berorentasi ke TujuanPertama yang dilakukan dalam pengembangan kurikulum adalah penetapan tujuan, kemudian baru segala sesuatunya seperti materi, metode, alokasi waktu, media, evaluasi, dsb. dikembangkan dengan mengacu kepada tujuan tersebut.6. Prinsip Pendidikan seumur hidupKurikulum dikembangkan dengan harapan dapat memenuhi tuntutan dalam mencetak “pelajar seumur hidup”, karenanya apa yang ada di dalam kurikulum harus mampu memberikan dasar-dasar bagi peserta didik untuk menjadi pelajar seumur hidup itu, termasuk menghadapi masa mereka keluar dari lembaga pendidikan formal.7. Prinsip mengacu pada model pengembangan kurikulumKurikulum pada harus dianggap sebagai sesuatu yang siap dikembangkan ~ dilaksanakan ~ di evaluasi ~ dianalisa/ direvisi dan selanjutnya dikembangkan kembali.Karena memegang berbagai prinsif ini maka kurikulum hendaknya setiap saat dikembangkan relevan dengan perkembangan lingkungan peserta didik, penyiapan kehidupan sekarang dan akan datang, perkembangan tuntutan dunia kerja dan atau perkembangan dunia Ilmu Pengetahuan dan teknologi yang sedemikian cepat dan canggih, untuk terus menerus mencari hal yang lebih efektif dan efisien dalam mencapai tujuan yang maksimal, berupaya mencari model pengembangan yang paling maksimal dalam mencapai tujuan , menuju arah yang semakin dapat menjamin fleksibelitas pendidik dan peserta didik serta dapat mengupayakan peletakan dasar-dasar yang semakin mumpuni bagi peserta didik untuk menjadi pelajar seumur hidup.D. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHPENGEMBANGAN KURIKULUMAda berbagai faktor yang mempengaruhi pengembangan kurikulum, yaitu :a. Filsafat dan Tujuan PendidikanFilsafat pada dasarnya adalah suatu pandangan hidup yang dianut oleh setiap orang, yang menjadi dasar untuk memandang dan melandasi suatu tindakan/ perbuatan.Manakala suatu filsafat sudah menjadi sistem nilai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka ia dapat menjadi acuan yang tentu sangat mempengaruhi segala apa yang dibuat dan dilakukan oleh bangsa itu, termasuk penentuan tujuan pendidikannya.Selanjutnya Tujuan Pendidikan itu akan terus mempengaruhi dan menentukan arah pendidikan di negara itu, termasuk pembuatan dan pengembangan kurikulum di negara itu.b. Sosial Budaya Penyusunan KurikulumKarena sekolah sebagai suatu institusi sosial dibentuk dan dikembangkan untuk memenuhi tuntutan dan harapan masyarakat, maka dengan sendirinya kekuatan sosial budaya akan sangat berpengaruh bagi kurikulum suatu sekolah.Ada berbagai kekuatan sosial yang sangat berpengaruh terhadap kurikulum yang menurut Ganjar Nugraha Jiwa Praja adalah unsur pokok kebudayaan, yaitu :1) Alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan2) Organisasi ekonomi3) Sistem norma-norma yang memungkinkan kerjasama antar para anggota masyarakat agar menguasai alam sekitar.4) Perlengkapan dan peralatan hidup manusia5) Sistem kemasyarakatan6) Bahasa7) Kesenian8) Sistem Pengetahuan9) Relegi ( sistem kepercayaan )c. Psikologi Penyusunan KurikulumKurikulum merupakan acuan dan pedoman dalam penyelenggaraan pendidikan bagi peserta didik, maka muatan kurikulum yang merupakan pengalaman belajar harus selaras dengan perkembangan kejiwaan peserta didik yang disesuaikan dengan faktor yang mempengaruhi belajar mereka.Ada berbagai landasan psikologis, yang manakala ditetapkan sebagai penyusunan kurikulum akan mempengaruhi terus menerus dalam pengembangan kurikulum itu, yaitu :1) Pandangan tentang pengertian belajar2) Teori belajard. Siswa sebagai dasar Penyusunan KurikulumPendidikan akan lebih menarik dan bermakna bagi peserta didik manakala ia disesuaikan dengan kebutuhan jasmani, sosial dan intelektual peserta didik.Segala hal yang berhubungan dengan siswa yang harus diperhatikan dan tentu akan berpengaruh bagi pengembangan kurikulum yaitu :1) Siswa sebagai anggota masyarakat2) Siswa sebagai individu yang sedang tumbuh dan berkembang, baik aspek pertumbuhan dan perkembangan fisiologisnya, aspek psikologisnya atau pun perubahan yang datang dari pengaruh lingkungan dan kultur dimana ia hidup.
4) Deplopmental Task
Deplopmental Task yaitu tugas-tugas yang muncul dalam periode tertentu dalam kehidupan seseorang, yang biasanya merupakan dasar bagi kebahagiaan dan keberhasilan menjalankan tugas-tugas tertentu dalam perkembangan dan pertumbuhan dia selanjutnya.
e. Prinsip, Organisasi, Bentuk dan Struktur Kurikulum
Suatu prinsif, organisasi, bentuk atau pun struktur kurikulum yang ditetapkan untuk penyusunan kurikulum, tentu akan sangat mempengaruhi pengembangan kurikulum selanjutnya.
Misalnya pada penyusunan kurikulum ditetapkan berorientasi kepada tujuan sebagai salah satu prinsipnya, maka secara otomatis pengembangan kurikulum tersebut sampai tingkat aktualisasinya harus berorientasi kepada tujuan itu, dan begitulah seterusnya, termasuk organisasi, bentuk dan struktur kurikulum itu jika kita tetapkan sebagai sesuatu hal yang harus jadi landasan utamanya.
E. INSTITUSI PENGEMBANG KURIKULUM
Sebagaimana dikemukakan di atas, tingkatan kurikulum dapat dibedakan dalam 3 tingkatan, maka kita meninjau lembaga pengembang kurikulum ini pun berdasarkan tingkatan-tingkatan tersebut, sebagai berikut :
e. Kurikulum Tingkat Institusi
Kurikulum Tingkat Institusi adalah kurikulum yang harus dipedomani dalam menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran secara umum di suatu sekolah.
Kurikulum Tingkat Institusi ( lembaga ) ini dikenal dengan Buku I Tingkat Lembaga, yang biasanya memuat Tujuan Umum dan Khusus suatu lembaga, Ruang Lingkup dan Jabaran Mata Pelajaran yang harus diajarkan pada suatu lembaga berikut dengan alokasi waktu per mata pelajaran tersebut.
Kurikulum Tingkat Lembaga ini biasanya juga dilengkapi dengan pedoman umum penyelenggaraan kegiatan, seperti pedoman administrasi ( sekolah dan guru ), pedoman evaluasi, dll.
Lembaga pengembang pada tingkatan ini adalah mereka yang punya kewenangan menentukan arah/ dan kebijakan umum lembaga-lembaga pendidikan yang diselenggarakannya, dan merekalah yang bertugas mengembangkan kurikulum pada tingkatan ini, seperti Depdiknas ( secara nasional ) , Dep. Agama ( lembaga pendidikan diselenggarakannya ) , Dep.Hankam ( lembaga pendidikan yang diselenggarakannya ), dll atau Yayasan tertentu yang juga menyelenggarakan pendidikan sendiri.
f. Kurikulum Tingkat Mata Pelajaran
Kurikulum Tingkat Mata Pelajaran dikenal dengan GBPP ( garis-garis Besar Program Pengajaran ) atau Syllabus atau Kurikulum Mata Pelajaran.
Kurikulum pada tringkat ini, memuat Pengertian, Tujuan, rambu-rambu dan Program pengajaran untuk MP tertentu.
Kurikulum pada tingkat ini biasanya juga ditunjang dengan pedoman strategi pembelajaran dan pedoman evaluasi program.
Lembaga pengembang pada tingkatan ini adalah instansi atau lembaga atau yayasan penyelenggara penidikan, seperti Depdiknas ( secara nasional ) , Dep. Agama (lembaga pendidikan diselenggarakannya ) , Dep.Hankam ( lembaga pendidikan yang diselenggarakannya ), dll atau Yayasan tertentu yang juga menyelenggarakan pendidikan sendiri atau nanti untuk di era otonomi daerah maka bisa juga suatu badan yang secara khusus menangani penyelenggaraan pendidikan, baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten dan bahkan bisa jadi untuk kurikulum MP tertentu dibuat oleh lembaga yang bersangkutan (tentu dengan melibatkan berbagai pihak yang terkait dan punya kompetensi dalam hal itu), tentu dengan tetap memperhatikan aspek-aspek kepentingan nasional.
g. Kurikulum Tingkat Operasional
Kurikulum Tingkat Operasional adalah Lesson Plan ( Rencana Pelajaran) yang dibuat dan akan dilaksanakan oleh guru di dalam pertemuan tatap muka.
Pada tingkatan ini lembaga pengembangnya adalah Guru atau Tenaga Kependidikan yang bertugas melakukan aktualisasi kurikulum itu dalam kegiatan tatap muka sehari-hari.
faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan kurikulum
A.      PendahuluanSalah satu upaya membina dan membangun generasi muda yang tangguh dan mumpuni diantaranya adalah melalui pendidikan, baik yang diberikan dalam lingkungan keluarga, melalui pendidikan formal di sekolah, maupun pendidikan dalam lingkungan masyarakat. Oleh karena itu sekolah sebagai lembaga pendidikan formal harus ditentukan oleh adanya pelaksanaan kurikulum sekolah itu. Keberhasilan sumber daya manusia dalam segi pendidikan sangat dipengaruhi oleh adanya pemahaman seluruh personal di sekolah itu dalam melaksanakan kurikulum.
Secara teoritis, kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan  jasmani dan olah raga, keterampilan atau kejuruan. (UUSPN No. 20 tahun 2003 pasal 37 ayat 1). Pada dasarnya kurikulum adalah suatu cara untuk mempersiapkan siswa agar berpartisipasi sebagai anggota yang produktif dalam masyarakatnya. Dalam kurikulum berbasis kompetensi (KBK) mengenai sasaran penelitian dan pengembangan kurikulum adalah diperolehnya kompetensi lulusan yang sesuai dengan berbagai tuntutan pasar. KBK kemudian mendapat tanggapan, kritik dan saran dari pada praktisi serta masyarakat mengenai substansi isi kurikulum tersebut sehingga dikembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang diharapkan menjadi lebih baik dan sesuai perkembangan ilmu dan teknologi serta sesuai dengan semangat desentralisasi. Seluruh komponen bangsa ikut memberikan dorongan bagi penyelenggara pendidikan untuk selalu melakukan proses perbaikan, modifikasi, dan evaluasi pada kurikulum yang digunakan.
Di dalam proses pengendalian mutu pendidikan, kurikulum merupakan perangkat yang sangat penting karena menjadi dasar untuk menjamin kompetensi keluaran dari proses pendidikan. Kurikulum harus selalu diubah secara periodik untuk menyesuaikan dengan dinamika kebutuhan pengguna dari waktu ke waktu.  
    
B.      Rumusan Masalah            Dari uraian latar belakang masalah yang telah diuraikan tersebut, dan agar permasalahan lebih mudah untuk dibahas, maka dalam makalah ini penulis merumuskan permasalahan pada faktor-faktor apakah yang mempengaruhi upaya pengembangan kurikulum?
C.      Pembahasan1.      KurikulumKurikulum dipandang sebagai suatu rencana yang disusun untuk melancarkan proses belajar mengajar di bawah bimbingan dan tanggungjawab sekolah atau lembaga pendidikan beserta staf pengajarnya. Menurut Hamalik (1995:18) dinyatakan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. Ahli kurikulum Hilda Taba sebagaimana dikutip oleh  Nasution (2001:7) berpendapat bahwa “pada hakikatnya tiap kurikulum merupakan suatu cara untuk mempersiapkan anak agar berpartisipasi sebagai anggota yang produktif dalam masyarakat”. Tiap kurikulum, bagaimanapun polanya, selalu mempunyai komponen-komponen tertentu, yakni pernyataan tentang tujuan dan sasaran, seleksi dan organisasi bahan dan isi pelajaran, bentuk dan kegiatan belajar dan mengajar, dan akhirnya evaluasi hasil belajar. Perbedaan kurikulum terletak pada penekanan pada unsur-unsur tertentu.
Kunikulum yang dibutuhkan di masa yang akan datang yaitu kunikulum yang berbasis kompetensi. Kompetensi dikembangkan untuk memberikan keterampilan dan keahlian bertahan hidup dalam perubahan, pertentangan, ketidakmenenentuan, ketidakpastian, dan kerumitan-kerumitan dalam kehidupan. Kurikulum berbasis kompetensi dapat diartikan sebagai konsep kurikulum yang menekankan pada pengembangan kemampuan melakukan (kompetensi) tugas-tugas dengan standar performansi tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik, berupa penguasaan terhadap seperangkat kompetensi tertentu (Mulyasa, 2002:39).Pada perkembangan selanjutnya, diberlakukan kurikulum tingkat satuan pendidika (KTSP) yaitu kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. Sekolah diberi keleluasaan merancang, mengembangkan, dan mengimplementasikan kurikulum sekolah sesuai dengan situasi, kondisi, dan potensi keunggulan lokal yang dapat dimunculkan oleh sekolah. Sekolah dapat mengembangkan standar yang lebih tinggi dari standar isi dan standar kompetensi lulusan (Abd. Halim Fathan, 2007: 2).
2.      Pengembangan KurikulumPerubahan kurikulum, dalam arti pengembangan, tentu akan berdampak terhadap kesiapan sekolah dan guru untuk mengimplementasikan di depan kelas. Mekanisme pengembangan kurikulum dapat dilakukan sebagai berikut. Tahap pertama penguasaan manajemen pengembangan kurikulum. Seorang guru yang akan mengembangkan kurikulum dituntut menguasai manajemen pengembangan kurikulum. Dalam mengembangkan kurikulum, setidaknya guru akan menemui delapan problem. Pertama, bagaimana membatasi ruang lingkup atau keluasan materi. Kedua, bagaimana mengaitkan relevansi materi dengan kompetensi yang dibutuhkan. Ketiga, bagaimana memilih materi agar ada keseimbangan untuk peserta didik maju dan yang lamban belajar, keseimbangan antara tuntutan pembangunan daerah dan nasional. Keempat, bagaimana mengintegrasikan materi yang satu dengan materi lainnya sehingga tidak terjadi duplikasi. Kelima, bagaimana mengurutkan materi dan kompetensi yang diperlukan. Keenam, bagaimana agar materi atau kompetensi berkesinambungan dan berjenjang. Ketujuh, bagaimana merealisasikan artikulasi materi atau kompetensi secara menyeluruh. Terakhir, bagaimanakah materi atau kompetensi yang diberikan dapat menjangkau masa depan alias memiliki daya guna bagi kehidupan peserta didik.
KTSP dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah. Pengembangan KTSP mengacu pada standar isi (SI) dan standar kompetensi lokal (SKL) dan berpedoman pada panduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh BSNP, serta memperhatikan pertimbangan komite sekolah/madrasah.
3.      Prinsip Pengembangan KurikulumPrinsip pengembangan KTSP adalah (1) Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya; (2) Beragam dan terpadu; (3) Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; (4) Relevan dengan kebutuhan kehidupan; (5) Menyeluruh dan berkesinambungan; (6) Belajar sepanjang hayat; (7) Dan seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, KTSP sangat relevan dengan konsep desentralisasi pendidikan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan konsep manajemen berbasis sekolah (MBS) yang mencakup otonomi sekolah di dalamnya. Pemerintah daerah dapat lebih leluasa berimprovisasi dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Sekolah bersama komite sekolah diberi otonomi menyusun kurikulum sendiri sesuai dengan kebutuhan di lapangan (Abd.Halim Fathan, 2007: 2).
Penyusunan KTSP untuk pendidikan khusus dikoordinasi dan disupervisi oleh dinas pendidikan provinsi, dan berpedoman pada SI dan SKL serta panduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh BSNP. Panduan pengembangan kurikulum disusun antara lain agar dapat memberi kesempatan peserta didik untuk belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, belajar untuk memahami dan menghayati, belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif, belajar untuk hidup bersama dan berguna untuk orang lain, dan belajar untuk membangun dan menemukan jati diri melalui proses belajar yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan.Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang beragam mengacu pada standar nasional pendidikan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional. Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan. Dua dari kedelapan standar nasional pendidikan tersebut, yaitu Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum.
Penyusunan KTSP juga harus mengikuti ketentuan lain yang menyangkut kurikulum dalam UU 20/2003 dan PP 19/2005. Panduan yang disusun BSNP terdiri atas dua bagian. Pertama, Panduan Umum yang memuat ketentuan umum pengembangan kurikulum yang dapat diterapkan pada satuan pendidikan dengan mengacu pada Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang terdapat dalam SI dan SKL. Termasuk dalam ketentuan umum adalah penjabaran amanat dalam UU 20/2003 dan ketentuan PP 19/2005 serta prinsip dan langkah yang harus diacu dalam pengembangan KTSP. Kedua, model KTSP sebagai salah satu contoh hasil akhir pengembangan KTSP dengan mengacu pada SI dan SKL dengan berpedoman pada Panduan Umum yang dikembangkan BSNP. Sebagai model KTSP, tentu tidak dapat mengakomodasi kebutuhan seluruh daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan hendaknya digunakan sebagai referensi.
4.      Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengembangan KurikulumMasyarakat dan bangsa Indonesia memiliki keragaman sosial, budaya,   aspirasi politik, dan kemampuan ekonomi. Keragaman tersebut   berpengaruh langsung terhadap kemampuan guru dalam melaksanakan   kurikulum, kemampuan sekolah dalam menyediakan pengalaman belajar, dan   kemampuan siswa dalam berproses dalam belajar serta mengolah informasi   menjadi sesuatu yang dapat diterjemahkan sebagai hasil belajar. Keragaman itu menjadi suatu variabel bebas yang memiliki   kontribusi sangat signifikan terhadap keberhasilan kurikulum baik   sebagai proses maupun kirikulum sebagai hasil. Oleh karena itu,   keragaman tersebut harus menjadi faktor yang diperhitungkan dan   dipertimbangkan dalam penentuan filsafat, teori, visi, pengembangan   dokumen, sosialisasi kurikulum, dan pelaksanaan kurikulum.   Pengembangan kurikulum di Indonesia harus didasarkan pada faktor-faktor keragaman sosial budaya secara nasional, lingkungan unit pendidikan, dan kebudayaan daerah.
a.  Keragaman sosial budaya nasional menjadi   dasar dalam mengembangkan berbagai komponen kurikulum seperti tujuan, konten, proses, dan evaluasi;
Pengembangan kurikulum untuk negara yang besar, penuh ragam, dan  miskin, seperti Indonesia, bukanlah suatu pekerjaan mudah. Keragaman sosial, budaya, aspirasi politik, dan kemampuan ekonomi memberikan   tekanan yang sama, kalau tidak dapat dikatakan lebih kuat dibandingkan perbedaan filosofi, visi, dan teori yang dianut para pengambil keputusan mengenai kurikulum. Perbedaan filosofi, visi, dan teori   pengambil keputusan seringkali dapat diselesaikan melalui jenjang otoritas yang dimiliki seseorang walaupun dilakukan dalam suatu proses deliberasi yang paling demokratis sekali pun. Ketika perbedaan
filosofi, visi, dan teori itu terselesaikan maka proses pengembangan   dokumen kurikulum dapat dilakukan dengan mudah. Tim yang direkrut  adalah tim yang diketahui memiliki filosofi, visi, dan teori yang  sejalan atau bahkan mereka yang tidak memiliki ketiga kualitas itu tetapi ahli dalam masalah konten yang akan dikembangkan sebagai konten kurikulum.  
filosofi, visi, dan teori itu terselesaikan maka proses pengembangan   dokumen kurikulum dapat dilakukan dengan mudah. Tim yang direkrut  adalah tim yang diketahui memiliki filosofi, visi, dan teori yang  sejalan atau bahkan mereka yang tidak memiliki ketiga kualitas itu tetapi ahli dalam masalah konten yang akan dikembangkan sebagai konten kurikulum.  
filosofi, visi, dan teori itu terselesaikan maka proses pengembangan   dokumen kurikulum dapat dilakukan dengan mudah. Tim yang direkrut  adalah tim yang diketahui memiliki filosofi, visi, dan teori yang  sejalan atau bahkan mereka yang tidak memiliki ketiga kualitas itu tetapi ahli dalam masalah konten yang akan dikembangkan sebagai konten kurikulum.  
filosofi, visi, dan teori itu terselesaikan maka proses pengembangan   dokumen kurikulum dapat dilakukan dengan mudah. Tim yang direkrut  adalah tim yang diketahui memiliki filosofi, visi, dan teori yang  sejalan atau bahkan mereka yang tidak memiliki ketiga kualitas itu tetapi ahli dalam masalah konten yang akan dikembangkan sebagai konten kurikulum.  
Kebudayaan merupakan keseluruhan totalitas cara manusia hidup   dan mengembangkan pola kehidupannya sehingga ia tidak saja menjadi   landasan di mana kurikulum dikembangkan tetapi juga menjadi target hasil pengembangan kurikulum.
Keragaman sosial, budaya, aspirasi politik, dan kemampuan ekonomi  adalah suatu realita masyarakat dan bangsa Indonesia. Realita tersebut   memang berposisi sebagai objek periferal dalam proses pengembangan kurikulum nasional. Posisi sebagai objek ini tidak menguntungkan   karena ia seringkali diabaikan oleh para otoritas pengembang   kurikulum. Sayangnya, kedudukannya yang menjadi objek berubah menjadi   subjek dan penentu dalam implementasi kurikulum tetapi tetap tidak   dijadikan landasan ketika guru mengembangkan kurikulum. Padahal   keragaman itu berpengaruh langsung terhadap kemampuan guru dalam melaksanakan kurikulum, kemampuan sekolah dalam menyediakan pengalaman  belajar, dan kemampuan siswa dalam berproses dalam belajar serta  mengolah informasi menjadi sesuatu yang dapat diterjemahkan sebagai   hasil belajar. Artinya, keragaman itu menjadi suatu variabel bebas yang memiliki kontribusi sangat signifikan terhadap keberhasilan   kurikulum baik sebagai proses (curriculum as observed, curriculum as   experienced, curriculum as implemented, curriculum as reality) tetapi   juga kurikulum sebagai hasil.
Posisi keragaman sebagai variabel bebas memang berada pada tataran  sekolah dan masyarakat di mana suatu kurikulum dikembangkan dan   diharapkan menjadi pengubah yang tangguh sesuai dengan kebutuhan  masyarakat yang dapat diperkirakan (perceived needs of a society).   Secara nyata pengaruh tersebut berada pada diri guru yang   bertanggungjawab terhadap pengembangan kurikulum dan pada siswa yang   menjalani kurikulum. Dengan perkataan lain, pengaruh tersebut berada   pada tataran yang tak boleh diabaikan sama sekali di mana studi   kurikulum memperlihatkan kerentanan, dan kemungkinan besar kurikulum   berubah atau bahkan berbeda sama sekali dengan apa yang telah   direncanakan dan diputuskan (Waring, 1982). Oleh karena itu,   keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan aspirasi politik harus menjadi   faktor yang diperhitungkan dan dipertimbangkan dalam penentuan   filsafat, teori, visi, pengembangan dokumen, sosialisasi kurikulum, dan pelaksanaan kurikulum.
Masyarakat sebagai sumber belajar harus dapat dimanfaatkan sebagai   sumber konten kurikulum. Oleh karena itu, nilai, moral, kebiasaan,   adat/tradisi, dan cultural traits tertentu harus dapat diakomodasi   sebagai konten kurikulum. Konten kurikulum haruslah tidak bersifat   formal semata tetapi society and cultural-besed, dan open to problems   yang hidup dalam masyarakat. Konten kurikulum haruslah menyebabkan  siswa merasa bahwa sekolah bukanlah institusi yang tidak berkaitan  dengan masyarakat, tetapi sekolah adalah suatu lembaga sosial yang   hidup dan berkembang di masyarakat. Selanjutnya, konten kurikulum   harus dapat menunjang tujuan kurikulum dalam mengembangkan kualitas   kemanusiaan peserta didik. Selain agama, kesusateraan, bahasa,   olahraga, dan kesenian merupakan konten yang dapat menunjang   pengembangan kemanusiaan siswa.
b. Lingkungan unit pendidikan yaitu guru, sumber belajar dan objek belajar yang merupakan bagian dari kegiatan belajar siswa;
Pengembangan kurikulum sebagai proses terjadi pada unit pendidikan   atau sekolah. Pengembangan ini haruslah didahului oleh sosialisasi agar para pengembang (guru) dapat mengembangkan kurikulum dalam bentuk   rencana pelajaran/satuan pelajaran, proses belajar di kelas, dan   evaluasi sesuai dengan prinsip multikultural kurikulum. Sosialisasi   yang dilakukan haruslah dilakukan orang-orang yang terlibat paling   tidak dalam proses pengembangan kurikulum sebagai dokumen apabila   orang yang terlibat dalam pengembangan ide tidak mungkin secara   teknis. Jika terjadi perluasan tim sosialisasi maka anggota tim yang   baru haruslah yang sepenuhnya faham dengan karakteristik kurikulum   multikultural. Pada fase ini, target utama adalah para guru faham dan  berkeinginan untuk mengembangkan kurikulum multikultural dalam kegiatan belajar yang menjadi tanggungjawabnya).
Sekolah bersama dengan komite sekolah dapat bersama-sama merumuskan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan, situasi, dan kondisi lingkungan sekolah. Sekolah dapat bermitra dengan stakeholder pendidikan, misalnya, dunia industri, kerajinan, pariwisata, petani, nelayan, organisasi profesi, dan sebagainya agar kurikulum yang dibuat oleh sekolah benar-benar sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Betapa pun sempurna sebuah kurikulum, bila potensi dan motivasi guru dan siswa tidak memadai maka proses pembelajaran tidak akan terjadi secara optimal. Sebaliknya, bila guru dan murid mempunyai komitmen tinggi untuk melakukan kegiatan pembelajaran yang sebaik-baiknya, dengan kurikulum yang seadanya pun hasil pembelajaran siswa akan diperoleh secara maksimal.
c. Kebutuhan daerah
Berlakunya Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah   tidak akan secara langsung menjadikan pendekatan multikultural berlaku   dalam pengembangan kurikulum di Indonesia. Undang-undang tersebut memberikan wewenang pengelolaan pendidikan kepada pemerintah daerah   mungkin saja akan menghasilkan berbagai kurikulum sesuai dengan visi,   misi, dan persepsi para pengembang kurikulum di daerah.
Kurikulum sebagai ide harus dikembangkan pada tingkat   nasional sedangkan kurikulum dalam bentuk dokumen dapat dikembangkan   di daerah. Seperti dalam alternatif di atas, proses sosialisasi ide   yang telah ditetapkan perlu dilakukan. Dengan demikian keputusan   tentang jenis informasi, bentuk format GBPP, dan komponen kurikulum   (tujuan, konten, proses belajar, dan evaluasi) ditentukan pada tingkat   daerah pula. Tentu saja dengan pendekatan multikultural tingkat  rincian tersebut tetap harus memperhitungkan keragaman kebudayaan di  wilayah tersebut yang menjadi lingkungan eksternal sekolah-sekolah yang ada. Oleh karena itu pengembangan materi ajar dalam kurikulum harus bisa dilebarkan sesuai kebutuhan daerah.
D.      KesimpulanBerdasarkan hasil pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan kurikulum adalah:
1.    Keragaman sosial budaya nasional menjadi   dasar dalam mengembangkan berbagai komponen kurikulum seperti tujuan, konten, proses, dan evaluasi.
Keragaman sosial, budaya, aspirasi politik, dan kemampuan ekonomi  adalah suatu realita masyarakat dan bangsa Indonesia. Realita tersebut   memang berposisi sebagai objek periferal dalam proses pengembangan kurikulum nasional. Masyarakat sebagai sumber belajar harus dapat dimanfaatkan sebagai   sumber konten kurikulum. Oleh karena itu, nilai, moral, kebiasaan,   dan adat/tradisi harus dapat diakomodasi   dalam kurikulum. Selanjutnya kurikulum   harus dapat menunjang tujuan kurikulum dalam mengembangkan kualitas   kemanusiaan peserta didik. Selain agama, kesusateraan, bahasa,   olahraga, dan kesenian merupakan konten yang dapat menunjang   pengembangan kemanusiaan siswa.
2.    Lingkungan unit pendidikan yaitu guru, sumber belajar dan objek belajar yang merupakan bagian dari kegiatan belajar siswa.
Pengembangan kurikulum sebagai proses terjadi pada unit pendidikan   atau sekolah. Pengembangan ini haruslah didahului oleh sosialisasi agar para pengembang (guru) dapat mengembangkan kurikulum dalam bentuk   rencana pelajaran/satuan pelajaran, proses belajar di kelas, dan   evaluasi yang sesuai. Sekolah bersama dengan komite sekolah dapat bersama-sama merumuskan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan, situasi, dan kondisi lingkungan sekolah. Sekolah dapat bermitra dengan stakeholder pendidikan, misalnya, dunia industri, kerajinan, pariwisata, petani, nelayan, organisasi profesi, dan sebagainya agar kurikulum yang dibuat oleh sekolah benar-benar sesuai dengan kebutuhan di lapangan.
3.        Kebutuhan daerah.Kurikulum sebagai ide harus dikembangkan pada tingkat  nasional sedangkan kurikulum dalam bentuk dokumen dapat dikembangkan   di daerah. Keputusan   tentang jenis informasi, bentuk format GBPP, dan komponen kurikulum   (tujuan, materi, proses belajar, dan evaluasi) ditentukan pada tingkat daerah pula.
komponen pengembangan kurikulum keperawatan
Kurikulum memiliki lima komponen utama, yaitu : (1) tujuan; (2) materi; (3) strategi, pembelajaran; (4) organisasi kurikulum dan (5) evaluasi. Kelima komponen tersebut memiliki keterkaitan yang erat dan tidak bisa dipisahkan. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraikan tentang masing-masing komponen tersebut.
A. Tujuan
Mengingat pentingnya pendidikan bagi manusia, hampir di setiap negara telah mewajibkan para warganya untuk mengikuti kegiatan pendidikan, melalui berbagai ragam teknis penyelenggaraannya, yang disesuaikan dengan falsafah negara, keadaan sosial-politik kemampuan sumber daya dan keadaan lingkungannya masing-masing. Kendati demikian, dalam hal menentukan tujuan pendidikan pada dasarnya memiliki esensi yang sama. Seperti yang disampaikan oleh Hummel (Uyoh Sadulloh, 1994) bahwa tujuan pendidikan secara universal akan menjangkau tiga jenis nilai utama yaitu:

  1. Autonomy; gives individuals and groups the maximum awarenes, knowledge, and ability so that they can manage their personal and collective life to the greatest possible extent.
  1. Equity; enable all citizens to participate in cultural and economic life by coverring them an equal basic education.
  1. Survival ; permit every nation to transmit and enrich its cultural heritage over the generation but also guide education towards mutual understanding and towards what has become a worldwide realization of common destiny.)
Dalam perspektif pendidikan nasional, tujuan pendidikan nasional dapat dilihat secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistrm Pendidikan Nasional, bahwa : ” Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”..
Tujuan pendidikan nasional yang merupakan pendidikan pada tataran makroskopik, selanjutnya dijabarkan ke dalam tujuan institusional yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai dari setiap jenis maupun jenjang sekolah atau satuan pendidikan tertentu.
Dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2007 dikemukakan bahwa tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah dirumuskan mengacu kepada tujuan umum pendidikan berikut.
  1. Tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
  1. Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
  1. Tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.
Tujuan pendidikan institusional tersebut kemudian dijabarkan lagi ke dalam tujuan kurikuler; yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai dari setiap mata pelajaran yang dikembangkan di setiap sekolah atau satuan pendidikan.
Berikut ini disampaikan beberapa contoh tujuan kurikuler yang berkaitan dengan pembelajaran ekonomi, sebagaimana diisyaratkan dalam Permendiknas No. 23 Tahun 2007 tentang Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar :
1Tujuan Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di SMP/MTS
  • Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya
  • Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial
  • Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan
  • Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global.
2. Tujuan Mata Pelajaran Ekonomi di SMA
  • Memahami sejumlah konsep ekonomi untuk mengkaitkan peristiwa dan masalah ekonomi dengan kehidupan sehari-hari, terutama yang terjadi dilingkungan individu, rumah tangga, masyarakat, dan negara
  • Menampilkan sikap ingin tahu terhadap sejumlah konsep ekonomi yang diperlukan untuk mendalami ilmu ekonomi
  • Membentuk sikap bijak, rasional dan bertanggungjawab dengan memiliki pengetahuan dan keterampilan ilmu ekonomi, manajemen, dan akuntansi yang bermanfaat bagi diri sendiri, rumah tangga, masyarakat, dan negara
  • Membuat keputusan yang bertanggungjawab mengenai nilai-nilai sosial ekonomi dalam masyarakat yang majemuk, baik dalam skala nasional maupun internasional
3. Tujuan Mata Pelajaran Kewirausahaan pada SMK/MAK
  • Memahami dunia usaha dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang terjadi di lingkungan masyarakat
  • Berwirausaha dalam bidangnya
  • Menerapkan perilaku kerja prestatif dalam kehidupannya
  • Mengaktualisasikan sikap dan perilaku wirausaha.
4. Tujuan Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di SMK/MAK
  • Memahami konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya
  • Berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial
  • Berkomitmen terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan
  • Berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk di tingkat lokal, nasional, dan global.
Tujuan-tujuan pendidikan mulai dari pendidikan nasional sampai dengan tujuan mata pelajaran masih bersifat abstrak dan konseptual, oleh karena itu perlu dioperasionalkan dan dijabarkan lebih lanjut dalam bentuk tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran merupakan tujuan pendidikan yang lebih operasional, yang hendak dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran dari setiap mata pelajaran.
Pada tingkat operasional ini, tujuan pendidikan dirumuskan lebih bersifat spesifik dan lebih menggambarkan tentang “what will the student be able to do as result of the teaching that he was unable to do before” (Rowntree dalam Nana Syaodih Sukmadinata, 1997). Dengan kata lain, tujuan pendidikan tingkat operasional ini lebih menggambarkan perubahan perilaku spesifik apa yang hendak dicapai peserta didik melalui proses pembelajaran. Merujuk pada pemikiran Bloom, maka perubahan perilaku tersebut meliputi perubahan dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotor.
Lebih jauh lagi, dengan mengutip dari beberapa ahli, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) memberikan gambaran spesifikasi dari tujuan yang ingin dicapai pada tujuan pembelajaran, yakni :
  1. Menggambarkan apa yang diharapkan dapat dilakukan oleh peserta didik, dengan : (a) menggunakan kata-kata kerja yang menunjukkan perilaku yang dapat diamati; (b) menunjukkan stimulus yang membangkitkan perilaku peserta didik; dan (c) memberikan pengkhususan tentang sumber-sumber yang dapat digunakan peserta didik dan orang-orang yang dapat diajak bekerja sama.
  1. Menunjukkan perilaku yang diharapkan dilakukan oleh peserta didik, dalam bentuk: (a) ketepatan atau ketelitian respons; (b) kecepatan, panjangnya dan frekuensi respons.
  1. Menggambarkan kondisi-kondisi atau lingkungan yang menunjang perilaku peserta didik berupa : (a) kondisi atau lingkungan fisik; dan (b) kondisi atau lingkungan psikologis.
Upaya pencapaian tujuan pembelajaran ini memiliki arti yang sangat penting.. Keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran pada tingkat operasional ini akan menentukan terhadap keberhasilan tujuan pendidikan pada tingkat berikutnya.
Terlepas dari rangkaian tujuan di atas bahwa perumusan tujuan kurikulum sangat terkait erat dengan filsafat yang melandasinya. Jika kurikulum yang dikembangkan menggunakan dasar filsafat klasik (perenialisme, essensialisme, eksistensialisme) sebagai pijakan utamanya maka tujuan kurikulum lebih banyak diarahkan pada pencapaian penguasaan materi dan cenderung menekankan pada upaya pengembangan aspek intelektual atau aspek kognitif.
Apabila kurikulum yang dikembangkan menggunakan filsafat progresivisme sebagai pijakan utamanya, maka tujuan pendidikan lebih diarahkan pada proses pengembangan dan aktualisasi diri peserta didik dan lebih berorientasi pada upaya pengembangan aspek afektif.
Pengembangan kurikulum dengan menggunakan filsafat rekonsktruktivisme sebagai dasar utamanya, maka tujuan pendidikan banyak diarahkan pada upaya pemecahan masalah sosial yang krusial dan kemampuan bekerja sama.
Sementara kurikulum yang dikembangkan dengan menggunakan dasar filosofi teknologi pendidikan dan teori pendidikan teknologis, maka tujuan pendidikan lebih diarahkan pada pencapaian kompetensi.
Dalam implementasinnya bahwa untuk mengembangkan pendidikan dengan tantangan yang sangat kompleks boleh dikatakan hampir tidak mungkin untuk merumuskan tujuan-tujuan kurikulum dengan hanya berpegang pada satu filsafat, teori pendidikan atau model kurikulum tertentu secara konsisten dan konsekuen. Oleh karena itu untuk mengakomodir tantangan dan kebutuhan pendidikan yang sangat kompleks sering digunakan model eklektik, dengan mengambil hal-hal yang terbaik dan memungkinkan dari seluruh aliran filsafat yang ada, sehingga dalam menentukan tujuan pendidikan lebih diusahakan secara bereimbang. .
B. Materi Pembelajaran
Dalam menentukan materi pembelajaran atau bahan ajar tidak lepas dari filsafat dan teori pendidikan dikembangkan. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa pengembangan kurikulum yang didasari filsafat klasik (perenialisme, essensialisme, eksistensialisme) penguasaan materi pembelajaran menjadi hal yang utama. Dalam hal ini, materi pembelajaran disusun secara logis dan sistematis, dalam bentuk :
  1. Teori; seperangkat konstruk atau konsep, definisi atau preposisi yang saling berhubungan, yang menyajikan pendapat sistematik tentang gejala dengan menspesifikasi hubungan – hubungan antara variabel-variabel dengan maksud menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut.
  1. Konsep; suatu abstraksi yang dibentuk oleh organisasi dari kekhususan-kekhususan, merupakan definisi singkat dari sekelompok fakta atau gejala.
  1. Generalisasi; kesimpulan umum berdasarkan hal-hal yang khusus, bersumber dari analisis, pendapat atau pembuktian dalam penelitian.
  1. Prinsip; yaitu ide utama, pola skema yang ada dalam materi yang mengembangkan hubungan antara beberapa konsep.
  1. Prosedur; yaitu seri langkah-langkah yang berurutan dalam materi pelajaran yang harus dilakukan peserta didik.
  1. Fakta; sejumlah informasi khusus dalam materi yang dianggap penting, terdiri dari terminologi, orang dan tempat serta kejadian.
  1. Istilah, kata-kata perbendaharaan yang baru dan khusus yang diperkenalkan dalam materi.
  1. Contoh/ilustrasi, yaitu hal atau tindakan atau proses yang bertujuan untuk memperjelas suatu uraian atau pendapat.
  1. Definisi:yaitu penjelasan tentang makna atau pengertian tentang suatu hal/kata dalam garis besarnya.
  1. Preposisi, yaitu cara yang digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran dalam upaya mencapai tujuan kurikulum.
Materi pembelajaran yang didasarkan pada filsafat progresivisme lebih memperhatikan tentang kebutuhan, minat, dan kehidupan peserta didik. Oleh karena itu, materi pembelajaran harus diambil dari dunia peserta didik dan oleh peserta didik itu sendiri. Materi pembelajaran yang didasarkan pada filsafat konstruktivisme, materi pembelajaran dikemas sedemikian rupa dalam bentuk tema-tema dan topik-topik yang diangkat dari masalah-masalah sosial yang krusial, misalnya tentang ekonomi, sosial bahkan tentang alam. Materi pembelajaran yang berlandaskan pada teknologi pendidikan banyak diambil dari disiplin ilmu, tetapi telah diramu sedemikian rupa dan diambil hal-hal yang esensialnya saja untuk mendukung penguasaan suatu kompetensi. Materi pembelajaran atau kompetensi yang lebih luas dirinci menjadi bagian-bagian atau sub-sub kompetensi yang lebih kecil dan obyektif.
Dengan melihat pemaparan di atas, tampak bahwa dilihat dari filsafat yang melandasi pengembangam kurikulum terdapat perbedaan dalam menentukan materi pembelajaran,. Namun dalam implementasinya sangat sulit untuk menentukan materi pembelajaran yang beranjak hanya dari satu filsafat tertentu., maka dalam prakteknya cenderung digunakan secara eklektik dan fleksibel..
Berkenaan dengan penentuan materi pembelajaran dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, pendidik memiliki wewenang penuh untuk menentukan materi pembelajaran, sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang hendak dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran. Dalam prakteknya untuk menentukan materi pembelajaran perlu memperhatikan hal-hal berikut :.
  1. Sahih (valid); dalam arti materi yang dituangkan dalam pembelajaran benar-benar telah teruji kebenaran dan kesahihannya. Di samping itu, juga materi yang diberikan merupakan materi yang aktual, tidak ketinggalan zaman, dan memberikan kontribusi untuk pemahaman ke depan.
  1. Tingkat kepentingan; materi yang dipilih benar-benar diperlukan peserta didik. Mengapa dan sejauh mana materi tersebut penting untuk dipelajari.
  1. Kebermaknaan; materi yang dipilih dapat memberikan manfaat akademis maupun non akademis. Manfaat akademis yaitu memberikan dasar-dasar pengetahuan dan keterampilan yang akan dikembangkan lebih lanjut pada jenjang pendidikan lebih lanjut. Sedangkan manfaat non akademis dapat mengembangkan kecakapan hidup dan sikap yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
  1. Layak dipelajari; materi memungkinkan untuk dipelajari, baik dari aspek tingkat kesulitannya (tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sulit) maupun aspek kelayakannya terhadap pemanfaatan materi dan kondisi setempat.
  1. Menarik minat; materi yang dipilih hendaknya menarik minat dan dapat memotivasi peserta didik untuk mempelajari lebih lanjut, menumbuhkan rasa ingin tahu sehingga memunculkan dorongan untuk mengembangkan sendiri kemampuan mereka.
Terlepas dari filsafat yang mendasari pengembangan materi, Nana Syaodih Sukamadinata (1997) mengetengahkan tentang sekuens susunan materi pembelajaran, yaitu :
  1. Sekuens kronologis; susunan materi pembelajaran yang mengandung urutan waktu.
  1. Sekuens kausal; susunan materi pembelajaran yang mengandung hubungan sebab-akibat.
  1. Sekuens struktural; susunan materi pembelajaran yang mengandung struktur materi.
  1. Sekuens logis dan psikologis; sekuensi logis merupakan susunan materi pembelajaran dimulai dari bagian menuju pada keseluruhan, dari yang sederhana menuju kepada yang kompleks. Sedangkan sekuens psikologis sebaliknya dari keseluruhan menuju bagian-bagian, dan dari yang kompleks menuju yang sederhana. Menurut sekuens logis materi pembelajaran disusun dari nyata ke abstrak, dari benda ke teori, dari fungsi ke struktur, dari masalah bagaimana ke masalah mengapa.
  1. Sekuens spiral ; susunan materi pembelajaran yang dipusatkan pada topik atau bahan tertentu yang populer dan sederhana, kemudian dikembangkan, diperdalam dan diperluas dengan bahan yang lebih kompleks.
  1. Sekuens rangkaian ke belakang; dalam sekuens ini mengajar dimulai dengan langkah akhir dan mundur kebelakang. Contoh pemecahan masalah yang bersifat ilmiah, meliputi 5 langkah sebagai berikut : (a) pembatasan masalah; (b) penyusunan hipotesis; (c) pengumpulan data; (d) pengujian hipotesis; dan (e) interpretasi hasil tes.
  1. Dalam mengajarnya, guru memulai dengan langkah (a) sampai (d), dan peserta didik diminta untuk membuat interprestasi hasilnya (e). Pada kasempatan lain guru menyajikan data tentang masalah lain dari langkah (a) sampai (c) dan peserta didik diminta untuk mengadakan pengetesan hipotesis (d) dan seterusnya.
  1. Sekuens berdasarkan hierarki belajar; prosedur pembelajaran dimulai menganalisis tujuan-tujuan yang ingin dicapai, kemudian dicari suatu hierarki urutan materi pembelajaran untuk mencapai tujuan atau kompetensi tersebut. Hierarki tersebut menggambarkan urutan perilaku apa yang mula-mula harus dikuasai peserta didik, berturut-berturut sampai dengan perilaku terakhir.
CStrategi pembelajaran
Telah disampaikan di atas bahwa dilihat dari filsafat dan teori pendidikan yang melandasi pengembangan kurikulum terdapat perbedaan dalam menentukan tujuan dan materi pembelajaran, hal ini tentunya memiliki konsekuensi pula terhadap penentuan strategi pembelajaran yang hendak dikembangkan. Apabila yang menjadi tujuan dalam pembelajaran adalah penguasaan informasi-intelektual,–sebagaimana yang banyak dikembangkan oleh kalangan pendukung filsafat klasik dalam rangka pewarisan budaya ataupun keabadian, maka strategi pembelajaran yang dikembangkan akan lebih berpusat kepada guru. Guru merupakan tokoh sentral di dalam proses pembelajaran dan dipandang sebagai pusat informasi dan pengetahuan. Sedangkan peserta didik hanya dianggap sebagai obyek yang secara pasif menerima sejumlah informasi dari guru. Metode dan teknik pembelajaran yang digunakan pada umumnya bersifat penyajian (ekspositorik) secara massal, seperti ceramah atau seminar. Selain itu, pembelajaran cenderung lebih bersifat tekstual.
Strategi pembelajaran yang berorientasi pada guru tersebut mendapat reaksi dari kalangan progresivisme. Menurut kalangan progresivisme, yang seharusnya aktif dalam suatu proses pembelajaran adalah peserta didik itu sendiri. Peserta didik secara aktif menentukan materi dan tujuan belajarnya sesuai dengan minat dan kebutuhannya, sekaligus menentukan bagaimana cara-cara yang paling sesuai untuk memperoleh materi dan mencapai tujuan belajarnya. Pembelajaran yang berpusat pada peserta didik mendapat dukungan dari kalangan rekonstruktivisme yang menekankan pentingnya proses pembelajaran melalui dinamika kelompok.
Pembelajaran cenderung bersifat kontekstual, metode dan teknik pembelajaran yang digunakan tidak lagi dalam bentuk penyajian dari guru tetapi lebih bersifat individual, langsung, dan memanfaatkan proses dinamika kelompok (kooperatif), seperti : pembelajaran moduler, obeservasi, simulasi atau role playing, diskusi, dan sejenisnya.
Dalam hal ini, guru tidak banyak melakukan intervensi. Peran guru hanya sebagai fasilitator, motivator dan guider. Sebagai fasilitator, guru berusaha menciptakan dan menyediakan lingkungan belajar yang kondusif bagi peserta didiknya. Sebagai motivator, guru berupaya untuk mendorong dan menstimulasi peserta didiknya agar dapat melakukan perbuatan belajar. Sedangkan sebagai guider, guru melakukan pembimbingan dengan berusaha mengenal para peserta didiknya secara personal.
Selanjutnya, dengan munculnya pembelajaran berbasis teknologi yang menekankan pentingnya penguasaan kompetensi membawa implikasi tersendiri dalam penentuan strategi pembelajaran. Meski masih bersifat penguasaan materi atau kompetensi seperti dalam pendekatan klasik, tetapi dalam pembelajaran teknologis masih dimungkinkan bagi peserta didik untuk belajar secara individual. Dalam pembelajaran teknologis dimungkinkan peserta didik untuk belajar tanpa tatap muka langsung dengan guru, seperti melalui internet atau media elektronik lainnya. Peran guru dalam pembelajaran teknologis lebih cenderung sebagai director of learning, yang berupaya mengarahkan dan mengatur peserta didik untuk melakukan perbuatan-perbuatan belajar sesuai dengan apa yang telah didesain sebelumnya.
Berdasarkan uraian di atas, ternyata banyak kemungkinan untuk menentukan strategi pembelajaran dan setiap strategi pembelajaran memiliki kelemahan dan keunggulannya tersendiri.
Terkait dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, belakangan ini mulai muncul konsep pembelajaran dengan isitilah PAKEM, yang merupakan akronim dari Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan. Oleh karena itu, dalam prakteknya seorang guru seyogyanya dapat mengembangkan strategi pembelajaran secara variatif, menggunakan berbagai strategi yang memungkinkan siswa untuk dapat melaksanakan proses belajarnya secara aktif, kreatif dan menyenangkan, dengan efektivitas yang tinggi.
D. Organisasi Kurikulum
Beragamnya pandangan yang mendasari pengembangan kurikulum memunculkan terjadinya keragaman dalam mengorgansiasikan kurikulum. Setidaknya terdapat enam ragam pengorganisasian kurikulum, yaitu:
  1. Mata pelajaran terpisah (isolated subject); kurikulum terdiri dari sejumlah mata pelajaran yang terpisah-pisah, yang diajarkan sendiri-sendiri tanpa ada hubungan dengan mata pelajaran lainnya. Masing-masing diberikan pada waktu tertentu dan tidak mempertimbangkan minat, kebutuhan, dan kemampuan peserta didik, semua materi diberikan sama
  1. Mata pelajaran berkorelasi; korelasi diadakan sebagai upaya untuk mengurangi kelemahan-kelemahan sebagai akibat pemisahan mata pelajaran. Prosedur yang ditempuh adalah menyampaikan pokok-pokok yang saling berkorelasi guna memudahkan peserta didik memahami pelajaran tertentu.
  1. Bidang studi (broad field); yaitu organisasi kurikulum yang berupa pengumpulan beberapa mata pelajaran yang sejenis serta memiliki ciri-ciri yang sama dan dikorelasikan (difungsikan) dalam satu bidang pengajaran. Salah satu mata pelajaran dapat dijadikan “core subject”, dan mata pelajaran lainnya dikorelasikan dengan core tersebut.
  1. Program yang berpusat pada anak (child centered), yaitu program kurikulum yang menitikberatkan pada kegiatan-kegiatan peserta didik, bukan pada mata pelajaran.
  1. Inti Masalah (core program), yaitu suatu program yang berupa unit-unit masalah, dimana masalah-masalah diambil dari suatu mata pelajaran tertentu, dan mata pelajaran lainnya diberikan melalui kegiatan-kegiatan belajar dalam upaya memecahkan masalahnya. Mata pelajaran-mata pelajaran yang menjadi pisau analisisnya diberikan secara terintegrasi.
  1. Ecletic Program, yaitu suatu program yang mencari keseimbangan antara organisasi kurikulum yang terpusat pada mata pelajaran dan peserta didik.
Berkenaan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, tampaknya lebih cenderung menggunakan pengorganisasian yang bersifat eklektik, yang terbagi ke dalam lima kelompok mata pelajaran, yaitu : (1) kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; (2) kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; (3) kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; (4) kelompok mata pelajaran estetika; dan (5) kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan
Kelompok-kelompok mata pelajaran tersebut selanjutnya dijabarkan lagi ke dalam sejumlah mata pelajaran tertentu, yang disesuaikan dengan jenjang dan jenis sekolah. Di samping itu, untuk memenuhi kebutuhan lokal disediakan mata pelajaran muatan lokal serta untuk kepentingan penyaluran bakat dan minat peserta didik disediakan kegiatan pengembangan diri.
E. Evaluasi Kurikulum
Evaluasi merupakan salah satu komponen kurikulum. Dalam pengertian terbatas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa tingkat ketercapaian tujuan-tujuan pendidikan yang ingin diwujudkan melalui kurikulum yang bersangkutan. Sebagaimana dikemukakan oleh Wright bahwa : “curriculum evaluation may be defined as the estimation of growth and progress of students toward objectives or values of the curriculum
Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa kinerja kurikulum secara keseluruhan ditinjau dari berbagai kriteria. Indikator kinerja yang dievaluasi tidak hanya terbatas pada efektivitas saja, namun juga relevansi, efisiensi, kelaikan (feasibility) program. Sementara itu, Hilda Taba menjelaskan hal-hal yang dievaluasi dalam kurikulum, yaitu meliputi ; “ objective, it’s scope, the quality of personnel in charger of it, the capacity of students, the relative importance of various subject, the degree to which objectives are implemented, the equipment and materials and so on.”Pada bagian lain, dikatakan bahwa luas atau tidaknya suatu program evaluasi kurikulum sebenarnya ditentukan oleh tujuan diadakannya evaluasi kurikulum. Apakah evaluasi tersebut ditujukan untuk mengevaluasi keseluruhan sistem kurikulum atau komponen-komponen tertentu saja dalam sistem kurikulum tersebut. Salah satu komponen kurikulum penting yang perlu dievaluasi adalah berkenaan dengan proses dan hasil belajar siswa.
Agar hasil evaluasi kurikulum tetap bermakna diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu. Dengan mengutip pemikian Doll, dikemukakan syarat-syarat evaluasi kurikulum yaitu “acknowledge presence of value and valuing, orientation to goals, comprehensiveness, continuity, diagnostics worth and validity and integration.”
Evaluasi kurikulum juga bervariasi, bergantung pada dimensi-dimensi yang menjadi fokus evaluasi. Salah satu dimensi yang sering mendapat sorotan adalah dimensi kuantitas dan kualitas. Instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi diemensi kuantitaif berbeda dengan dimensi kualitatif. Instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi dimensi kuantitatif, seperti tes standar, tes prestasi belajar, tes diagnostik dan lain-lain. Sedangkan, instrumen untuk mengevaluasi dimensi kualitatif dapat digunakan, questionnare, inventori, interview, catatan anekdot dan sebagainya
Evaluasi kurikulum memegang peranan penting, baik untuk penentuan kebijakan pendidikan pada umumnya maupun untuk pengambilan keputusan dalam kurikulum itu sendiri. Hasil-hasil evaluasi kurikulum dapat digunakan oleh para pemegang kebijakan pendidikan dan para pengembang kurikulum dalam memilih dan menetapkan kebijakan pengembangan sistem pendidikan dan pengembangan model kurikulum yang digunakan.
Hasil – hasil evaluasi kurikulum juga dapat digunakan oleh guru-guru, kepala sekolah dan para pelaksana pendidikan lainnya dalam memahami dan membantu perkembangan peserta didik, memilih bahan pelajaran, memilih metode dan alat-alat bantu pelajaran, cara penilaian serta fasilitas pendidikan lainnya. (disarikan dari Nana Syaodih Sukmadinata, 1997)
Selanjutnya, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan tiga pendekatan dalam evaluasi kurikulum, yaitu : (1) pendekatan penelitian (analisis komparatif); (2) pendekatan obyektif; dan (3) pendekatan campuran multivariasi.
Di samping itu, terdapat beberapa model evaluasi kurikulum, diantaranya adalah Model CIPP (Context, Input, Process dan Product) yang bertitik tolak pada pandangan bahwa keberhasilan progran pendidikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti : karakteristik peserta didik dan lingkungan, tujuan program dan peralatan yang digunakan, prosedur dan mekanisme pelaksanaan program itu sendiri. Evaluasi model ini bermaksud membandingkan kinerja (performance) dari berbagai dimensi program dengan sejumlah kriteria tertentu, untuk akhirnya sampai pada deskripsi dan judgment mengenai kekuatan dan kelemahan program yang dievaluasi. Model ini kembangkan oleh Stufflebeam (1972) menggolongkan program pendidikan atas empat dimensi, yaitu : Context, Input, Process dan Product. Menurut model ini keempat dimensi program tersebut perlu dievaluasi sebelum, selama dan sesudah program pendidikan dikembangkan. Penjelasan singkat dari keempat dimensi tersebut adalah, sebagai berikut :
  1. Context; yaitu situasi atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan strategi pendidikan yang akan dikembangkan dalam program yang bersangkutan, seperti : kebijakan departemen atau unit kerja yang bersangkutan, sasaran yang ingin dicapai oleh unit kerja dalam kurun waktu tertentu, masalah ketenagaan yang dihadapi dalam unit kerja yang bersangkutan, dan sebagainya.
  1. Input; bahan, peralatan, fasilitas yang disiapkan untuk keperluan pendidikan, seperti : dokumen kurikulum, dan materi pembelajaran yang dikembangkan, staf pengajar, sarana dan pra sarana, media pendidikan yang digunakan dan sebagainya.
  1. Process; pelaksanaan nyata dari program pendidikan tersebut, meliputi : pelaksanaan proses belajar mengajar, pelaksanaan evaluasi yang dilakukan oleh para pengajar, penglolaan program, dan lain-lain.
  1. Product; keseluruhan hasil yang dicapai oleh program pendidikan, mencakup : jangka pendek dan jangka lebih panjang.

3) Siswa sebagai indvidu yang memiliki kebutuhan pokok yang menurut Tyler , meliputi : kesehatan, hubungan sosial, hubungan sosial, hubungan dengan kewajiban sebagai warga negara, konsumen, jabatan dan kedudukan serta rekreasi.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar